OneNewsMagazine-Setelah retret Kabinet Merah Putih yang digelar di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah selesai, Prabowo Subianto memerintahkan seluruh anggota kabinetnya untuk segera tancap gas melaksanakan program-program prioritas.”Ada dua yang perlu jadi prioritas untuk 100 hari pertama. Pertama persiapan makan bergizi gratis dan kartu-kartu bantuan sosial,” ujar Drajad Wibowo, ekonom INDEF sekaligus Anggota Dewan Pakar TKN.

Dua langkah ini, menurut Dradjad, akan efektif dalam mengatasi dampak ekonomi jangka pendek. Selanjutnya tinggal mendorong pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan sektor swasta. Target pertumbuhan sebesar 8% selama lima tahun mendatang menuntut loncatan besar, yang menurutnya harus dimulai dengan mencapai 5,9% di tahun 2025.

“Yang perlu dilakukan, sektor swasta harus digenjot,” tegas Dradjad.

Mantan Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara (DISK) itu menyoroti, debirokratisasi dan deregulasi menjadi aspek awal yang krusial untuk memastikan agar swasta dapat bergerak cepat tanpa kendala aturan yang berbelit-belit.

“Aturan-aturan birokrasi yang bertele-tele yang mengambil swasta, regulasi yang bertele-tele yang mengambil swasta, itu kalau bisa dipangkas supaya swasta bisa bergerak cepat. Industri harus kita bangkitkan lagi, karena yang kemarin drop itu kan industri,” kata Dradjad.

Namun, Dradjad mengingatkan bahwa alokasi anggaran negara masih jauh dari target yang ideal. Saat ini, terdapat kekurangan anggaran sebesar Rp300 triliun untuk mencapai jumlah ideal Rp3.900 triliun. Oleh sebab itu, pilihan untuk menggenjot sektor swasta adalah hal yang nyaris mutlak perlu dilakukan di pemerintahan Prabowo.

“Kalau swasta nggak bergerak cepat, walaupun anggaran negara sudah ditambah, tetap nggak tercapai juga. Karena nggak bisa kita mengandalkan negara atau sektor publik saja untuk mencapai pertumbuhan. Harus sektor swasta menjadi anggaran negara,” jelasnya.

Dradjad juga mengingatkan, sektor swasta merupakan penyedia lapangan kerja terbesar di negara ini, sehingga penting bagi pemerintah untuk mendorong sektor ini agar mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan tenaga kerja. 

“ASN kan jumlahnya sedikit. Sebagian besar itu ada di swasta. Jadi swasta yang harus kita dorong tadi supaya mereka mampu menambah kesempatan kerja, mampu memberi gaji lebih besar,” ujarnya.

Dalam konteks ini, jelas bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki tantangan besar dalam beberapa bulan ke depan, mulai dari memastikan bantuan sosial sampai dengan meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan. Namun, keberhasilan dalam 100 hari pertama bisa menjadi pijakan bagi pemerintahan Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan yang lebih tinggi di masa depan.

Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky mempertanyakan langkah Prabowo yang ia nilai terlalu banyak mengakomodasi pihak-pihak dari berbagai latar belakang politik, namun belum tentu memiliki kapasitas sebagai teknokrat yang mampu menjalankan program pembangunan dengan efektif.

Menurutnya, kabinet Prabowo seakan hanya berusaha menciptakan “win-win” dengan pihak luar, partai politik koalisi, bahkan IMF, tetapi mengabaikan kelas menengah yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dengan cara menaikkan pajak.

“Kalau sama partai politik bisa win-win, dengan pihak luar seperti IMF bisa win-win, seharusnya kelas menengah kita juga bisa diberi win-win. Artinya, rakyat diberikan kemudahan dulu, pekerjaan layak dulu, baru setelah itu pajak dinaikkan,” ujar Yanuar dalam wawancaranya dengan tvOnenews.com.

Tidak hanya mengkritik kabinet Prabowo, Yanuar juga menyinggung berbagai permasalahan ekonomi yang ia sebut muncul di era Jokowi, mulai dari peningkatan ketimpangan, lonjakan PHK, hingga reforma agraria yang mandek. Menurutnya, situasi yang diwariskan Jokowi sudah cukup berat, dan kini Prabowo seharusnya fokus pada reformasi struktural, bukan sekadar memainkan politik dengan kembali melantik wajah-wajah lama yang terbukti tidak mampu mencapai target-target.

“Saran saya, jangan terlalu banyak bermain-main politik. Di era Jokowi, kita malah lihat kelas menengah makin tidak terstruktur, pekerja formal bergeser ke informal. Harus ada reformasi agraria, dan sektor pertanian harus tetap relevan dalam GDP kita,” tegasnya.

Kendati demikian, Yanuar tetap menyatakan harapan bahwa Prabowo bisa lebih selektif dalam memilih tim ke depannya, memberikan porsi yang cukup bagi teknokrat yang benar-benar ahli di bidangnya. Terlebih, peluang untuk melakukan perombakan kabinet ke depannya selalu terbuka bebas.

“Prabowo butuh teknokrat di bidangnya, bukan hanya politikus,” ung­kapnya.

Membandingkan dengan Presiden Soeharto, Orde Baru saat itu berhasil memulihkan ekonomi dengan memberdayakan teknokrat, dan ia berharap Prabowo bisa belajar dari itu.

“Dalam pemerintahan Pak Harto dulu, teknokrat benar-benar dapat peran sesuai kapasitasnya. Bahwa mereka anggota Golkar iya, tapi bukan politisi. Contoh, beliau nggak pernah mengangkat ketua umum partai menjadi Menteri Pertanian atau Energi. Kalau Prabowo bisa lakukan itu, kabinet ini bisa lebih efektif.”

“Misal dengan adanya Sri Mulyani, Prabowo mungkin memang perlu mengkompromikan beberapa hal terkait kebijakan keuangan khususnya dengan IMF. Sebagai pemimpin, ia memang harus bermain di dua sisi, harus bijaksana dalam menye­imbangkan lokal dan global. Tetapi yang lain apa?” ujarnya kritis.

Kelas Menengah Makin Tertekan, PHK Mengancam?
Pemerintahan Prabowo-Gibran juga telah menetapkan rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Yanuar sebagai pengamat ekonomi menilai bahwa kenaikan tersebut justru akan semakin memperburuk daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah yang sedang tertekan oleh beragam kondisi ekonomi.

“Kalau PPN, menurut saya sangat jelas bahwa itu akan menambah tekanan di kelas menengah yang daya belinya lagi susah gitu,” ungkapnya.

Sejumlah data telah memper­lihatkan penurunan daya beli masyarakat secara nyata. Misalnya pada Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mengalami penurunan, dari 106,37 pada Mei 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.

Angka Purchasing Manager’s Index (PMI) yang mencerminkan aktivitas manufaktur Indonesia juga telah mencatat kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. Pada Juli 2024, PMI berada di 49,3, di bawah ambang batas ekspansi 50, lalu turun lagi menjadi 48,9 pada Agustus, dan sedikit meningkat namun tetap terkontraksi di 49,2 pada September.

“Data sudah menunjukkan pelemahan daya beli. PMI kita terkontraksi tiga bulan berturut-turut, PHK terus meningkat, dan saldo tabungan masyarakat menurun drastis. Ini jelas mengkhawatirkan,” ungkapnya.

Tidak hanya soal PPN, Yanuar juga menyoroti fenomena lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sepanjang 2024. Berdasarkan catatan, PHK mencapai angka 54 ribu kasus dari Januari hingga September 2024.

Kondisi ini, katanya, diikuti oleh fenomena yang ia sebut sebagai “makan tabungan”, di mana masyarakat terpaksa menggunakan tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan, saldo rata-rata kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta turun drastis, dari Rp3 juta pada tahun 2019 menjadi Rp1,5 juta pada Juni 2024.

“Ditambah lagi sama PPN, belum nanti TAPERA. Ini kan akan menambah uang baru untuk menutup defisit fiskal dan mengatasi gejolak utang negara. Dampaknya? Lagi-lagi, kelas menengah yang dikorbankan,” jelas Yanuar. (Rilo Pambudi)

{{imageLibraryId:18}}

Lembah Tidar, dari Kyai Semar, Rajah Kalacakra  hingga Paku Pulau Jawa

Prabowo Subianto menyebut Lembah Tidar sebagai paku Pulau Jawa, bagian melengkapi legitimasi kepemimpinannya?
 

OneNewsMagazine-Kawasan Gunung Tidar  berikut Markas Akademi Militer di lembahnya tiba tiba jadi perbincangan publik setelah Presiden Prabowo Subianto memilihnya sebagai tempat retret Kabinet Merah Putih. Prabowo menyebut program yang digelarnya bukan hanya inagurasi atau nostalgia semata, tetapi sebuah manajemen ala “militer way”.

Bagi Prabowo penggemblengan di Lembah Tidar bagian penanaman karakter disiplin ala ksatria. Lembah Tidar, ujar Prabowo, bagian dari sejarah panjang perlawanan para pahlawan melawan penjajah. Tak hanya Gunung Tidar sebenarnya, tapi juga gugusan gunung gunung di sekitarnya, seperti Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing. “Lembah Tidar ini bagian perjuangan panjang perlawanan terhadap penjajah,” ujar Prabowo.

Prabowo bahkan menjelaskan Gunung Tidar dari pandangan kosmologi Jawa. Menyitir teks klasik seperti Serat Centhini dan Babad Tanah Jawa, Lembah Tidar disebut ‘paku bumi’ Pulau Jawa. Simbol paku secara nyata digambarkan pada lambang Kota Magelang sejak masa Hindia Belanda dan tetap diadopsi hingga saat ini.

Dari bacaan klasik itu, kawasan Tidar diyakini sebagai titik pusat penghubung Pulau Jawa dengan kekuatan-kekuatan metafisik. Di tempat para menteri digembleng Gunung itu dianggap sebagai tempat berse­mayamnya Kyai Semar (Eyang Ismoyo), tokoh punakawan bijak dalam tradisi dan pewayangan Jawa yang dihormati dan disucikan.

Cerita rakyat dalam tradisi Islam Jawa menuturkan, Tidar menjadi tonggak Islamisasi oleh Syekh Subakir yang melakukan ‘kontrak’ dengan Eyang Semar untuk meruwat atau ruqyah Tanah Jawa dengan paku yang berisi Rajah Kalacakra. Tak heran jika Gunung Tidar juga menjadi tempat dilakukannya ritus-ritus transendental, pancer tetirah, khususnya oleh masyarakat Jawa.

Di puncak Gunung Tidar, terdapat tugu monumental dengan lambang SA (dalam aksara Jawa) di tiga sisinya yang mengandung makna Sapa Salah Seleh (siapa yang salah akan kalah). Budayawan Magelang, Agung Begawan Prabu, dalam sebuah tulisannya menyebut bahwa pendirian tugu ini diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai tetenger (pengingat) atas keputusan Raja menyerahkan tahta untuk rakyat.

Tugu SA juga menjadi simbol ungkapan Pancasila sebagai Sangga Satya Satriya (Pancasila sebagai penopang sumpah satria).

Barangkali, pamor ksatria pada Gunung Tidar itu juga yang membuat Presiden Soekarno yang kala itu juga Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI mendirikan Akademi Militer Nasional di sana pada 11 November 1957 silam.

“Saya kira hampir semua taruna dan alumni akademi militer tiga angkatan sama Polri pernah naik ke Bukit Tidar, secara sukarela ataupun tidak sukarela pernah naik Bukit Tidar. Ada yang dihukum berkali-kali naik,” ujar Prabowo.  

Lalu kenapa Prabowo merasa penting menjelaskan sejarah Lembah Tidar? Barangkali Prabowo ingin melengkapi legitimasi kepemim­pinannya, tak hanya formal tetapi juga spiritual. (Rilo Pambudi)

Tim kami
  • DEWAN REDAKSI:
  • Lalu Mara Satriawangsa
  • PIMPINAN REDAKSI:
  • Ecep Suwardaniyasa Muslimin
  • REDAKTUR PELAKSANA:
  • Chandra Hendrik Hasudungan Manurung,
  • Irianto Susilo,
  • Fauzie Pradita Abbas,
  • Bajo Winarno,
  • Muhammad Ivan Rida,
  • Fikri Syaukani,
  • Budi Zulkifli,
  • Hentty Kartika,
  • Muhammad Takbir,
  • Fajar Sodik,
  • FJosua Jon Crissandro
  • KOORDINATOR LIPUTAN:
  • Sukardani
  • SEKRETARIAT REDAKSI:
  • Satria Aji Prasojo,
  • Caren Gloria Jessica
  • REDAKTUR:
  • Evan Bayu Setianto,
  • Rohaimi,
  • Putri Rani,
  • Luthfi Khairul Fikri,
  • Subhan Wirawan,
  • Novianti Siswandini,
  • Mumu Mujahidin,
  • Aqmarul Akhyar,
  • anggeng Kusdiantoro,
  • Rizki Amana,
  • Inas Widyanuratikah,
  • Reni Ravita Pajri,
  • Hartifiany Praisra,
  • Ferdyan Adhy Nugraha,
  • Muhammad Indmas,
  • Akmal Ghani,
  • Karina Maghvira R,
  • Ammar Ramzi,
  • Farhan Alam,
  • Ahmad Imanuddin,
  • Gigih Wahyuningsih,
  • Adeline Kinanti,
  • Farhan Erlangga,
  • Rahayu Trisna Sari,
  • Anisa Sri Isnaini,
  • Hilal Aulia Pasha,
  • Reinaldy Darius,
  • Dean Pahrevi,
  • Hansen Sinaga,
  • Rilo Pambudi,
  • Hanny Nur Fadhilah,
  • Kevi Laras Wana,
  • Tesya Juwita Larasati,
  • Angelia Nafriana
  • REPORTER:
  • Syifa Aulia,
  • Caren Gloria Jessica,
  • Abdul Gani Siregar,
  • Rika Pangesti,
  • Aldi Herlanda,
  • Ilham Giovani Pratama
  • FOTOGRAFER:
  • Julio Trisaputra,
  • Muhammad Bagas Syafii
  • DESAIN GRAFIS:
  • Wildan Mustofa,
  • Muhammad Rheza,
  • Raihan Omar Budihawali,
  • Zidane Rizqi Abdurrahman Rodja
  • DATA ANALISIS:
  • Muhammad Haikal,
  • Muhammad Arif Wibisono,
  • Wahid Nurul Hidayat