Onenews Magazine - Edisi VIII
ketiga
Nelayan Mati di Lumbung Ikan
Baru beberapa saat kapal meninggalkan pantai, hujan lebat mendadak turun. “Cuaca makin tidak jelas sekarang,” ujar Pak Isak, nelayan yang mengemudikan kapal dari buritan. Karena terpal kapal tak cukup menahan derasnya hujan yang disertai badai, kami memutuskan berteduh sebentar di bawah jalan tol yang membelah laut, menghubungkan Pantai Indah Kapuk (PIK 1) ke PIK 2.
“Sekarang perlu jauh ke lautan lepas untuk mendapatkan ikan,” ujar Pak Isak. Ia bercerita susahnya melaut setelah perairan banyak dibelah belah, dikuasai banyak perusahaan. Rilo Pambudi dari tvOnenews merasakan langsung bagaimana kehidupan nelayan di pesisir Utara Tangerang sebelum pagar laut dibongkar.
“Kami harus membeli solar lebih banyak untuk bisa melaut lebih jauh,” tambahnya.
Tak heran ketika TNI Angkatan Laut membongkar pagar laut air muka para nelayan Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga sumringah. Mereka bersorak sorai mendukung aparat yang berenang mencabuti pagar satu demi satu. Tercabutnya pagar rapat yang melintang sepanjang 30,16 km itu, seolah menjadi setitik napas baru bagi masyarakat pesisir yang selama beberapa kurun belakangan ini terbelenggu dan terdesak oleh praktik ekspansi industri properti yang menggila di Pantai Utara.
Di geladak kapal KM Asoy Geboy, misalnya beberapa nelayan seperti Ocoy, Alam, Pudin, dan Aswaji akhirnya baru kali ini berani lantang mengutuk aksi pemagaran dan reklamasi laut di zona penghidupan mereka. Para nelayan itu mengakui bahwa selama ini mereka tak bisa berbuat banyak atas adanya pemagaran laut tersebut, karena adanya beberapa ketakutan dan ketidakberdayaan melawan supremasi-supremasi proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Kan yang sebelah sana separuhnya sudah diurug lautnya itu. Tadinya saya beli rebon di situ, yang ada beko itu. Tapi sudah dipagar dan udah sebagian diurug,” ujar Ocoy sambil istirahat di sela-sela pencabutan pagar laut bersama TNI AL di kapal juragannya. Sambil menunjuk eskavator yang sedang mengerjakan reklamasi di ujung barat pesisir Tanjung Pasir, Ocoy menceritakan bagaimana perairan menjadi sumber penghidupan mereka kini berubah menjadi lahan yang dipagari dan diurug. Bagi Ocoy dan nelayan lainnya, ini bukan sekadar masalah akses, tetapi juga tentang masa depan kehidupan nelayan Pantai Utara yang semakin suram.
Di atas kapal yang terombang-ambing ombak angin musim barat, ABK bernama Alam yang sedang beristirahat dengan beberapa anggota TNI AL dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) III Jakarta yang sedang beristirahat, juga ikut mencurahkan isi hatinya. Alam menambahkan bahwa warga sempat beberapa kali melakukan demo juga ke Kepala Desa. “Alasannya, nanti deh saya ngobrol sama PT. Berapa lama, nggak ada juga jawabannya, ya kami demo lagi. Tapi apa, ya tetap nggak ada apa-apa.” Protes yang dilakukan nelayan tak pernah digubris. Mereka juga menyayangkan sikap aparat desa yang seolah selalu menjadi kepanjangan tangan dari pihak PIK 2.
Senada dengan itu, Aswaji juga menceritakan kerugian material yang sering mereka alam semenjak adanya pagar laut. Sebab bambu-bambu itu tak jarang membuat baling-baling kapal mereka patah saat tak sengaja menerjangnya. “Berapa duit itu kerugian saya? Nggak ada celah sama sekali untuk lewat sebenarnya, rapet semua bambunya.”
Ocoy kemudian juga menjelaskan tentang proses penancapan bambu-bambu yang akhirnya menjadi pagar laut. Dirinya tak menampik bahwa orang-orang yang dipekerjakan untuk melakukan pemagaran itu sebagian juga dari warga sekitar. Mereka yang bekerja untuk membuat pagar biasanya dibayar harian.
“Umumnya sehari seratus ribu, dan kalau dilihat dari atas itu sudah kotak-kotak kayak empang. Biar enak ngukurnya, kan. Jadi saat mereka bicara ke BPN, itu bukan laut, alasannya empang yang kena abrasi. Padahal, emang bener-bener laut yang dikavling-kavling.” Katanya menuding bahwa korporasi sengaja mengubah status laut menjadi empang agar mudah diukur dan dialihfungsikan.
Alam, yang juga nelayan KM Asoy Geboy menggambarkan bagaimana laut yang dulu dalam kini berubah menjadi dangkal akibat pemagaran. Pasalnya, pemagaran itu justru memang sengaja dilakukan agar laut menjadi dangkal, bukan menangkal abrasi. “Nanti kan sebulan dua bulan dia jadi dangkal kalau dipagar, jadi menimbunnya kan sedikit dia. Tadinya dalam ini laut. Orang itu satu bambu aja itu utuh sebatang.”
“Kan yang sebelah sana separuhnya sudah diurug lautnya itu. Tadinya saya beli rebon di situ, yang ada beko itu. Tapi sudah dipagar dan udah sebagian diurug,” ujar Ocoy sambil istirahat di sela-sela pencabutan pagar laut bersama TNI AL di kapal juragannya. Sambil menunjuk eskavator yang sedang mengerjakan reklamasi di ujung barat pesisir Tanjung Pasir, Ocoy menceritakan bagaimana perairan menjadi sumber penghidupan mereka kini berubah menjadi lahan yang dipagari dan diurug. Bagi Ocoy dan nelayan lainnya, ini bukan sekadar masalah akses, tetapi juga tentang masa depan kehidupan nelayan Pantai Utara yang semakin suram.
Di atas kapal yang terombang-ambing ombak angin musim barat, ABK bernama Alam yang sedang beristirahat dengan beberapa anggota TNI AL dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) III Jakarta yang sedang beristirahat, juga ikut mencurahkan isi hatinya. Alam menambahkan bahwa warga sempat beberapa kali melakukan demo juga ke Kepala Desa. “Alasannya, nanti deh saya ngobrol sama PT. Berapa lama, nggak ada juga jawabannya, ya kami demo lagi. Tapi apa, ya tetap nggak ada apa-apa.” Protes yang dilakukan nelayan tak pernah digubris. Mereka juga menyayangkan sikap aparat desa yang seolah selalu menjadi kepanjangan tangan dari pihak PIK 2.
Senada dengan itu, Aswaji juga menceritakan kerugian material yang sering mereka alam semenjak adanya pagar laut. Sebab bambu-bambu itu tak jarang membuat baling-baling kapal mereka patah saat tak sengaja menerjangnya. “Berapa duit itu kerugian saya? Nggak ada celah sama sekali untuk lewat sebenarnya, rapet semua bambunya.”
Ocoy kemudian juga menjelaskan tentang proses penancapan bambu-bambu yang akhirnya menjadi pagar laut. Dirinya tak menampik bahwa orang-orang yang dipekerjakan untuk melakukan pemagaran itu sebagian juga dari warga sekitar. Mereka yang bekerja untuk membuat pagar biasanya dibayar harian.
“Umumnya sehari seratus ribu, dan kalau dilihat dari atas itu sudah kotak-kotak kayak empang. Biar enak ngukurnya, kan. Jadi saat mereka bicara ke BPN, itu bukan laut, alasannya empang yang kena abrasi. Padahal, emang bener-bener laut yang dikavling-kavling.” Katanya menuding bahwa korporasi sengaja mengubah status laut menjadi empang agar mudah diukur dan dialihfungsikan.
Alam, yang juga nelayan KM Asoy Geboy menggambarkan bagaimana laut yang dulu dalam kini berubah menjadi dangkal akibat pemagaran. Pasalnya, pemagaran itu justru memang sengaja dilakukan agar laut menjadi dangkal, bukan menangkal abrasi. “Nanti kan sebulan dua bulan dia jadi dangkal kalau dipagar, jadi menimbunnya kan sedikit dia. Tadinya dalam ini laut. Orang itu satu bambu aja itu utuh sebatang.”

- Rilo Pambudi/tvOnenews.com
ABK bernama Pudin, menunjuk ke arah bagian barat pantai Tanjung Pasir yang tampak masih terjadi aktivitas pengurugan meski ratusan aparat dan warga sedang sibuk membongkar pagar di tengah laut.
“Secara kasat mata saja yang kita lihat sekarang, itu kan ada beko di situ lagi pengurugan. Itu kan laut sebelumnya. Jadi awalnya dibikin patok kayak gini.” bagaimana laut yang dulu luas kini berubah menjadi lahan yang dipatok dan diurug.
Saat siang hari mulai merendah, matahari memantulkan cahaya keemasan di atas permukaan air laut yang mulai tenang. Di atas kapal yang terayun dengan mesin diesel yang bergemuruh, para nelayan dan aparat TNI AL memulai kembali gotong royongnya setelah beristirahat. Wajah-wajah mereka terlihat letih karena sejak pagi berjibaku bersama para tentara untuk mencabut pagar bambu. Prosesnya dilakukan dengan cara menganyam dan mengikat sekat-sekat bambu itu dengan tali tambang, kemudian ditarik dengan perahu hingga pagar itu akhirnya berhamburan dan mengambang.
“Pokoknya, masyarakat pesisir terutama nelayan itu nggak setuju sama yang namanya reklamasi dan patok-patok bambu kayak begini. Rugi bener bagi nelayan,” ujar Ocoy sambil tangannya menunjuk ke arah pagar bambu membentang sepanjang puluhan kilometer, seolah menjadi simbol penjara bagi kehidupan mereka.
“Kalau sudah jadi nih reklamasi, kita ke pinggir gini aja sudah nggak dibolehin, apalagi naik. Contohnya saja PIK 1 itu,” katanya sambil merujuk pada proyek reklamasi sebelumnya yang telah mengubah wajah Teluk Jakarta.
Sambil menarik bambu-bambu yang telah tercabut, nelayan Aswaji sempat menyela bahwa kampungnya kini telah terjepit oleh proyek reklamasi. Akibatnya, tanah-tanah reklamasi yang dibuat lebih tinggi dari perkampungan akhirnya justru sering membuat banjir pemukiman ketika datang banjir rob.
“Kalau mereka (PIK) kena air bisa ditinggikan lagi tanahnya, nah kalau kita? Kerendem! Ya banjir akhirnya kalau musim ombak sama angin, gitu,” keluhnya. Apa yang disampaikannya itu seperti menggambarkan betapa nelayan hanya menjadi korban dari kemajuan yang tak pernah memihak mereka.

- Rilo Pambudi/tvOnenews.com
Benar, nelayan-nelayan ini bukan hanya berhadapan dengan ruang laut yang dipagar, tetapi juga dibayangi rasa cemas yang mendesak mereka di darat. Aswaji juga sempat curhat bagaimana aparat desa hingga RT dan RW justru tiba-tiba menghilang dan buang badan ketika para wartawan datang.
Mirisnya, semua aparat desa sampai tingkat RW dan RT justru diketahui sempat pergi jalan-jalan ke Bandung pada 22-23 Januari 2025, ketika sebagian besar masyarakat tengah berupaya mati-matian membantu TNI AL untuk membongkar pagar laut.
“Entah rapat apa, mungkin sedang diskusi agar kalau ditanya wartawan bisa kompak jawabnya,” ujar Aswaji dengan nada sinis.
Salah satu masalah yang cukup serius mereka utarakan adalah soal pembelian tanah-tanah untuk proyek reklamasi dan pembangunan PIK 2. Warga mengaku bahwa tanah-tanah di sana dibeli dengan harga murah, sekitar Rp50-Rp100 ribu per meter persegi, bahkan ada yang hanya diberi rumah pengganti tanpa surat kepemilikan. “Ada yang nggak diduitin, tanah ganti tanah gitu. Yang diduitin rumah, ditata sama dia (korporasi). Cuman nggak dikasih surat. Jadi rumah bagus, tapi hati bingung nggak tenang karena nggak ada suratnya,” jelas Alam.
Penolakan terhadap proyek ini sebenarnya meluas, bahkan hingga ke wilayah Kronjo. Namun, tanpa dukungan, suara mereka selama ini seperti terbungkam. “Kalau penolakan ya menolak semua sampai Kronjo sana. Cuman ya kalau nolaknya tanpa dukungan ya sama, nggak berani,” kata Aswaji.
Para nelayan sebenarnya juga mengaku miris dengan pihak-pihak yang mengatakan bahwa pemagaran tersebut adalah swadaya warga. Padahal, alih-alih iuran untuk membeli ratusan ribu atau bahkan jutaan batang bambu, untuk mencari ikan saja mereka juga kesusahaan.
“Duitnya siapa? Nelayan ngapain beli bambu, buat makan saja kadang susah ngandelin alam. Lagipula pagar itu manfaatnya apa buat nelayan, nggak ada, kan?” tutur Aswaji.
Di tengah keputusasaan, masih ada secercah harapan. Mereka berharap ada keadilan yang datang, meski harus menunggu lama. Mereka berharap agar penanganan pagar tersebut tidak berhenti pada proses pencabutan saya, tetapi harus diusut sampai tuntas hingga ranah hukum dan menindak para pelakunya.
Ocoy menutup percakapan dengan nada memohon, “Untuk PT-PT yang punya modal ya lihat lahan juga lah, kalau laut ya jangan sampai diurug dan dipagari. Untuk pemerintah kita juga ya jangan sampai lah jual-jual laut gitu, merugikan masyarakat pesisir. Lahan pencaharian kita kan di situ buat cari makan.”
Beberapa nelayan di dermaga tempat pelelangan ikan (TPI), juga sahut menyahut mengeluhkan kegetiran hidup mereka yang selama setahun belakangan ini ruang lautnya dipagari ratusan ribu batang bambu yang haram ditembus. Para nelayan ini sehari-hari terpaksa menempuh jarak berkali lipat lebih jauh untuk mencari ikan. Mereka secara dramatis mau tidak mau harus merogoh biaya operasional lebih banyak dan waktu kerja yang lebih panjang karena batas pagar terluarnya saja berjarak bisa sampai 3 km dari bibir pantai. Celakanya, kawasan yang dikangkangi pagar-pagar bambu itu sebenarnya adalah wilayah perairan yang kaya ikan.
Munawar, seorang nelayan yang selama puluhan tahun menggantungkan nafkah dengan jaring unyil 3 inch di perairan pinggir, mengaku tak hanya merasa terganggu pelayarannya tetapi juga kehilangan hak paling mendasarnya sebagai nelayan pinggiran.
“Jujur saja kalau soal pagar laut, yang saya rasa ini ya kehilangan. Karena tadinya penangkapan jaring saya di kawasan situ. Ya mau nggak mau, saya harus ke tengah. Padahal kalau ngomongin duitnya, bisa 200-300 ribu pendapatannya, terutama karena banyak ikan-ikan bagus. Ikan kuro, alu-alu (barakuda), kuwe, bandeng laut dan pari sangat melimpah di situ,” tutur Munawar yang sore itu sedang bercengkrama dengan nelayan lain di dermaga, seusai mengakut bambu-bambu yang telah dicabut oleh Angkatan Laut.
Di Tanjung Pasir sendiri, ada beberapa golongan profesi nelayan. Ada yang disebut nelayan pinggir dengan alat tangkap jaring, jala, dan sodok (jaring rebon/anak udang). Kelompok inilah yang paling dirugikan karena adanya pagar laut. Kemudian, ada juga nelayan tengah yang umumnya adalah pemancing tunggal maupun rawe (pancing dengan ribuan mata kail) yang mengincar ikan-ikan di perairan agak dalam.
“Yang susah bukan nelayan kecil doang, nelayan mancing juga susah. Soalnya para nelayan bondet cari rebonnya kan di pinggir itu, yang dipagar itu, makanya nelayan sini yang mancing ya cari rebon untuk umpannya susah, udah nggak bisa lagi,” sahut seorang nelayan paruh baya bernama Nata.

- Rilo Pambudi/tvOnenews.com
Bagi nelayan seperti Munawar, bambu-bambu itu bukan sekadar penghalang, melainkan ranjau yang mengancam kehidupan sehari-hari. Setiap kali melaut, mereka harus berhadapan dengan risiko kapal tersangkut atau bahkan menabrak bambu-bambu itu. Sejauh ini, sudah ada dua kapal yang jebol dan akhirnya karam akibat menerjang pagar bambu tersebut di malam hari.
Selain itu, terkadang saat bahan bakar solar langka, mereka memang terpaksa mencari celah di antara pagar bambu. Namun, hal itu diakui para nelayan bahwa menerobos atau mencabut pagar laut artinya mempertaruhkan hidup pada para pengusaha. “Lebih baik muter jauh daripada kena masalah,” sarkas Munawar yang mengisyaratkan bahwa pagar tersebut tak boleh dicabut sembarangan.
Munawar teringat masa-masa awal pembangunan PIK 2. Saat itu, ia sedang dalam keadaan darurat tak punya pekerjaan. Laut sedang sepi, tangkapan ikan minim, dan ia bersedia apa pun untuk menghidupi keluarganya. Ia sempat berharap dengan banyaknya proyek pembangunan di sekitar Tanjung Pasir, akan mendatangkan lapangan kerja yang bisa menjadi sumber penghidupan baru. Tapi kenyataannya? “Kopi diambil gulanya, pahit!” keluhnya. Ia bercerita pernah mendatangi Lurah untuk memohon diberi pekerjaan apa pun di proyek, tetapi Munawar hanya memperoleh janji-janji tanpa ada kejelasan hingga akhirnya terpaksa kembali ke laut, melanjutkan hidup sebagai nelayan yang sangat bergantung pada alam.
Janji manis tentang lapangan kerja bagi putra daerah Tanjung Pasir hanya isapan jempol. Beberapa nelayan pernah mencoba menawarkan diri, tapi sulit. “Mungkin sudah banyak orangnya,” pikir Munawar, mencoba tidak berprasangka buruk. Tapi ia tak bisa menyangkal kekecewaannya. “Masalah janji palsu, kita terima saja. Itu manusiawi. Biar balik ke dia saja,” ujarnya ikhlas.
Meski begitu, Munawar tetap mencintai pekerjaannya sebagai nelayan yang telah puluhan tahun digelutinya. Tapi ia tak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa tangkapannya semakin menurun semenjak ada pagar laut.
Sementara itu, Suryadi, nelayan sekaligus pemilik warung di dermaga, memandang deretan bambu sepanjang 30 kilometer itu dengan sentimentil. Ia sejak awal sangat yakin bahwa pihak besar di balik pembangunan pagar bambu tersebut adalah PIK 2.’”Masa iya nelayan yang modalin? Apalagi cuma dengan uang receh, mana cukup? Pasti ya ada biangnya, ya dia, orang-orangnya,” ujarnya, merujuk pada Agung Sedayu Group.

- tvone
Suryadi yang setiap hari berada di dermaga memperhatikan, bambu-bambu itu biasanya ditancapkan pagi atau malam hari saat air laut surut. Aktivitas itu dilakukan terang-terangan, meski ia tak pernah tahu persis siapa orang-orang yang melakukannya. “Ada yang bilang, kalau berani cabut satu bambu itu ancamannya sekian bulan,” ujar Suryadi mengutarakan sedikit contoh ancaman yang dilakukan pihak-pihak yang terafiliasi dengan korporasi. Demikian, pagar laut terus memunculkan sederet kegelisahan bagi nelayan. (Rilo Pambudi)
- DEWAN REDAKSI:
- Lalu Mara Satriawangsa
- PIMPINAN REDAKSI:
- Ecep Suwardaniyasa Muslimin
- REDAKTUR PELAKSANA:
- Chandra Hendrik Hasudungan Manurung,
- Irianto Susilo,
- Fauzie Pradita Abbas,
- Bajo Winarno,
- Muhammad Ivan Rida,
- Fikri Syaukani,
- Budi Zulkifli,
- Hentty Kartika,
- Muhammad Takbir,
- Fajar Sodik,
- FJosua Jon Crissandro
- KOORDINATOR LIPUTAN:
- Sukardani
- SEKRETARIAT REDAKSI:
- Satria Aji Prasojo,
- Caren Gloria Jessica
- REDAKTUR:
- Evan Bayu Setianto,
- Rohaimi,
- Putri Rani,
- Luthfi Khairul Fikri,
- Subhan Wirawan,
- Novianti Siswandini,
- Mumu Mujahidin,
- Aqmarul Akhyar,
- anggeng Kusdiantoro,
- Rizki Amana,
- Inas Widyanuratikah,
- Reni Ravita Pajri,
- Hartifiany Praisra,
- Ferdyan Adhy Nugraha,
- Muhammad Indmas,
- Akmal Ghani,
- Karina Maghvira R,
- Ammar Ramzi,
- Farhan Alam,
- Ahmad Imanuddin,
- Gigih Wahyuningsih,
- Adeline Kinanti,
- Farhan Erlangga,
- Rahayu Trisna Sari,
- Anisa Sri Isnaini,
- Hilal Aulia Pasha,
- Reinaldy Darius,
- Dean Pahrevi,
- Hansen Sinaga,
- Rilo Pambudi,
- Hanny Nur Fadhilah,
- Kevi Laras Wana,
- Tesya Juwita Larasati,
- Angelia Nafriana
- REPORTER:
- Syifa Aulia,
- Caren Gloria Jessica,
- Abdul Gani Siregar,
- Rika Pangesti,
- Aldi Herlanda,
- Ilham Giovani Pratama
- FOTOGRAFER:
- Julio Trisaputra,
- Muhammad Bagas Syafii
- DESAIN GRAFIS:
- Wildan Mustofa,
- Muhammad Rheza,
- Raihan Omar Budihawali,
- Zidane Rizqi Abdurrahman Rodja
- DATA ANALISIS:
- Muhammad Haikal,
- Muhammad Arif Wibisono,
- Wahid Nurul Hidayat