Onenews Magazine - Edisi VIII
pojok kc
Pagar Laut, Komedi yang Tidak Lucu
Seperti sebuah drama, awal cerita pagar laut sebenarnya diketahui publik sejak lama. Alkisah, pada Mei 2023 para nelayan di perairan Tangerang pernah melaporkan pagar laut ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, bahwa ada patok bambu yang dipancang rapih sejak dasar laut hingga permukaaan sejauh 400 meter yang mengganggu aktivitas melaut.
Tak sampai setahun, Agustus 2024 panjang patok bambu sudah bertambah, sekitar 7 kilometer. Aktivitas mengkapling kapling lautan itu terjadi di depan mata Dinas Kelautan Banten, TNI Angkatan Laut, Kepolisian Perairan dan Udara hingga mencapai 13,12 kilometer. Laporan nelayan yang harus memutar jauh untuk mencari ikan yang akibatnya harus memboroskan solar dan kan ikan yang tergebah entah ke mana dianggap angin lalu.
Cerita menjadi komedi yang tak lucu ketika tiba tiba kasus ini viral, memancing perdebatan masyarakat luas, diperbincangkan ramai di media sosial dan media arus utama, sontak pejabat mendadak pilon. Seolah pagar laut muncul begitu saja, tiba tiba dan mengagetkan semua pemangku kepentingan, seolah itu pekerjaan Bandung Bondowoso atas permintaan Rara Jonggrang semalam sebelumnya yang diupayakan dengan mengerahkan lelembut dan jin.
Saling sanggah antara pejabat lah yang membuat ini jadi drama yang berlarat larat, dengan jalan cerita yang banyak lubangnya. Mulanya pasti ada bantahan bahwa ada kelompok masyarakat yang memagari lautan, ketika dibuktikan ada oleh foto foto di media sosial, lalu semua mengaku tak ada yang mengetahui siapa pembangunnya. Ini saja sudah memancing rasa getir, bagaimana pagar sepanjang 30,16 kilometer yang bahkan terlihat jelas oleh satelit google maps yang bisa dibuktikan siapa saja bisa tak ada yang mengaku membangunnya?
Lalu soal biaya besar di balik pembangunan, kok tumben tak ada yang mengklaim ikut membayarinya?
Sutradara yang buruk membelokan cerita dengan sangat serampangan dan amatir. Pelakunya adalah nelayan. Cerita yang dikarang, nelayan sengaja menamcapkan ribuan bilah bambu sepanjang 30 kilometer untuk menahan abrasi dan beternak kerang.
Padahal melihat konstruksi bambu yang telah dibangun jelas nelayan tak memiliki kemampuan dana sebesar itu. Di antara dua barisan bambu yang ditancapkan dengan rapi ke dasar laut masing masing setinggi lebih dari 6 meter, di atasnya dipasang paranet, pada bagian dasar ditaruh karung karung pasir yang tujuannya jelas untuk penanda wilayah saat reklamasi terjadi.
Dengan teknik memagari laut semacam itu, sebelum reklamasi secara modern, kabarnya pengurukan laut secara alamiah akan terjadi. Lokasi akan tersedimentasi dengan sendirinya karena material akan tertahan pagar dan mengendap, mendangkalkan perairan sehingga tercipta daratan buatan.
Nah, ketika mulai tersudut, belakangan barulah Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono mengakui pagar bambu tak berizin dan menyegelnya.
Cerita lalu berjalan lebih dramatis. Ternyata Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang telah menerbitkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) seluas 300 hektare di sekitar pagar laut tersebut. Sebuah sertifikat yang dikeluarkan di objek yang merupakan lautan.
Detailnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan, setidaknya terdapat 263 bidang tanah dalam bentuk Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan PT Cahaya Inti Sentosa, perusahaan properti yang dimiliki PT Agung Sedayu, PT Tunas Mekar dan PT Pantai Indah Kapuk 2 memiliki 20 bidang, 234 bidang dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, serta Sembilan bidang atas nama perorangan.
Ketika mulai terang, lalu satu persatu kepingan cerita bermunculan. Pengacara Agung Sedayu Grup, Muannas Alaidid lewat keterangan tertulis yang diterima tvOnenews.com mengakui Agung Sedayu memiliki sebagian HGB yang diributkan tersebut. HGB yang dimiliki perusahaan milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan ini hanya ada di dua Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji saja. “Kita beli dari rakyat yang semua SHM dibalik nama dan bayar pajak,” ujar Muannas.
Kepingan lainnya, pagar laut beririsan dengan pengambangan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Sudah tampak di pesisir bangunan bangunan yang bakal menjadi PIK Tropical Coastland, proyek strategis nasional (PSN) yang ditetapkan pemerintah Joko Widodo pada Maret, 2024.
Sekilas tak ada yang dirugikan dan semua berjalan sesuai aturan. Padahal, di luar aspek pelanggaran hukum, pembangunan pagar laut jelas sudah menyengsarakan nelayan tradisional yang jumlahnya ribuan di sepanjang pantai utara Tangerang dan Jakarta.
Selain nelayan, warga kota secara keseluruhan juga dirugikan dengan penguasaan pantai untuk kepentingan pribadi. Pantai adalah ruang publik yang mestinya nyaman untuk aktivitas warga kota. Sudah lazim di banyak kota di dunia, rumah warga menghadap laut lepas yang pasirnya bersih dan airnya jernih. Lalu setiap pagi dan sore di musim panas warganya berjemur, berolahraga di sepanjang pantai. Sementara di Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang memiliki garis pantai lebih dari 100 kilometer hampir seluruh garis pantai sudah diklaim atas nama pribadi dikavling kavling berdasarkan kepentingan komersial belaka yang meminggirkan hak warga kota mendapatkan ruang publik yang nyaman.
Syukur komedi gelap bagi nelayan ini akhirnya disudahi lebih cepat. Prabowo Subianto meminta aparat segera membongkar pagar laut dan TNI Angkatan Laut telah bergotong royong dengan nelayan mencabuti bambu bambu tersebut.
Sebab, ada bahaya mengancam jika negara tak segera berlaku tegas dan cepat dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten. Ada kesan seolah siapapun jika punya uang berlimpah, bisa seenaknya merampas hak rakyat kecil.
Keberanian pengembang berkongsi dengan pejabat untuk menabrak aturan aturan hukum secara telanjang juga menyiratkan karena mereka tahu bakal “dilindungi”, atau jika pun terungkap akan “diselamatkan” alias tak ada ganjaran hukum seperti yang sudah sudah.
Toh ada instrumen hukum yang jelas untuk menegakkan aturan. Karena laut bukanlah objek yang dapat dibebani Hak Guna Bangunan (HGB), maka berdasarkan Pasal 64 ayat (1) PP 18/21 sertifikat yang belum berusia lima tahun wajib dibatalkan oleh menteri sebelum jangka waktunya berakhir tanpa melalui proses peradilan. Apalagi jika proses pengajuan legalitas ternyata terdapat cacat administrasi, cacat prosedur dan cacat material.
Tak cukup dengan itu, seluruh jaringan yang terlibat dengan orkestrasi yang rapi antara pihak swasta dan lembaga negara harus diproses secara hukum. Ungkap semua dengan terang benderang. Jika ada delik pidana yang dilanggar, sidik dan bawa ke pengadilan. Bukan hanya pihak swasta saja, seperti pihak Kantor Jasa Survei Berlisensi, yang bertanggung jawab mengukur 1.500 hektare lahan yang dimohonkan legalitasnya ke ATR/BPN, tetapi juga kepala desa yang mengajukan permohonan pengukuran tanah tersebut mesti diperiksa. Dalam pemeriksaan mungkin akan terungkap modus modus penguasaan lahan ala mafia tanah professional akan terungkap.
Dan, mestinya jika yakin tak ada aturan yang dilanggar, mestinya investor (entah Aguan atau lainnya) yang kabarnya hanya ingin memberi nilai tambah, mendandani kawasan pesisir di utara Tangerang tersebut tak perlu takut. Jika ada proyek yang menguntungkan warga, rakyat akan senang memberikan tanahnya karena tentunya dihargai dengan harga tinggi, pemerintah juga gembira akan mendapatkan pajak dari aktivitas ekonomi yang akan tumbuh.
Ecep Suwardaniyasa Muslimin.
- DEWAN REDAKSI:
- Lalu Mara Satriawangsa
- PIMPINAN REDAKSI:
- Ecep Suwardaniyasa Muslimin
- REDAKTUR PELAKSANA:
- Chandra Hendrik Hasudungan Manurung,
- Irianto Susilo,
- Fauzie Pradita Abbas,
- Bajo Winarno,
- Muhammad Ivan Rida,
- Fikri Syaukani,
- Budi Zulkifli,
- Hentty Kartika,
- Muhammad Takbir,
- Fajar Sodik,
- FJosua Jon Crissandro
- KOORDINATOR LIPUTAN:
- Sukardani
- SEKRETARIAT REDAKSI:
- Satria Aji Prasojo,
- Caren Gloria Jessica
- REDAKTUR:
- Evan Bayu Setianto,
- Rohaimi,
- Putri Rani,
- Luthfi Khairul Fikri,
- Subhan Wirawan,
- Novianti Siswandini,
- Mumu Mujahidin,
- Aqmarul Akhyar,
- anggeng Kusdiantoro,
- Rizki Amana,
- Inas Widyanuratikah,
- Reni Ravita Pajri,
- Hartifiany Praisra,
- Ferdyan Adhy Nugraha,
- Muhammad Indmas,
- Akmal Ghani,
- Karina Maghvira R,
- Ammar Ramzi,
- Farhan Alam,
- Ahmad Imanuddin,
- Gigih Wahyuningsih,
- Adeline Kinanti,
- Farhan Erlangga,
- Rahayu Trisna Sari,
- Anisa Sri Isnaini,
- Hilal Aulia Pasha,
- Reinaldy Darius,
- Dean Pahrevi,
- Hansen Sinaga,
- Rilo Pambudi,
- Hanny Nur Fadhilah,
- Kevi Laras Wana,
- Tesya Juwita Larasati,
- Angelia Nafriana
- REPORTER:
- Syifa Aulia,
- Caren Gloria Jessica,
- Abdul Gani Siregar,
- Rika Pangesti,
- Aldi Herlanda,
- Ilham Giovani Pratama
- FOTOGRAFER:
- Julio Trisaputra,
- Muhammad Bagas Syafii
- DESAIN GRAFIS:
- Wildan Mustofa,
- Muhammad Rheza,
- Raihan Omar Budihawali,
- Zidane Rizqi Abdurrahman Rodja
- DATA ANALISIS:
- Muhammad Haikal,
- Muhammad Arif Wibisono,
- Wahid Nurul Hidayat