Onenews Magazine - Edisi VII
ketiga
Muara Dadap Kontrasmu Tak Bisu
Namun, tujuan perjalanan ini bukanlah blusukan ke Dadap Cheng In. Melainkan ke pesta hajatan kampung para nelayan yang terletak di ujung jalan Dadap, tepat di bibir muara Sungai Dadap yang menghadap langsung ke Laut Jawa.
Saking rusak dan kotornya jalan, sopir mobil yang kami tumpangi akhirnya menyerah untuk melanjutkan perjalanan. Alhasil, malam itu kami harus turun meneruskan setengah perjalanan dengan berjalan kaki menuju kampung nelayan Dadap.
Untuk menghindari setapak berlumpur, kami memasuki lebih gang yang lebih ciut di antara rumah-rumah bedeng sempit yang berhimpit dan bertumpuk. Aroma laut tercium kuat, sebab yang kami pijak bukanlah tanah melainkan jutaan kulit-kulit kerang hijau yang sengaja ditebar agar jalanan tidak becek.
Suara gemeretak mesin-mesin diesel 24pk dari perahu yang melintas dan dentuman gerak alat-alat berat di proyek pembangunan Jalan Tol PIK 2, acap kali terdengar bersahutan saat kami mulai mendekati lokasi. Untuk mempercepat gerak, kami akhirnya menempuh jalan cepat dengan melintas di atas tanggul beton selebar kurang dari setengah meter yang menjadi pemisah antara pemukiman dan air sungai.
Siapa sangka, ada pasar malam meriah di balik kampung pesisir yang kumuh ini. Pasar malam yang telah digelar berhari-hari ini merupakan bagian dari pesta syukuran dan slametan kampung. Malam ini adalah malam puncak. Anak-anak, ibu dan bapak, pemuda, dan kembang desa semua berbondong-bondong tampil dengan pakaian terbaiknya.
Layaknya pasar malam, ramai pula pedagang kaki lima musiman yang menjajakan makanan, mainan, hingga pakaian. Berbagai wahana hiburan seperti bianglala, komidi putar, kora-kora, ombak banyu, hingga lempar kaleng berhadiah juga turut meramaikan suasana guyub perkampungan tepi Laut Jakarta yang sedang terancam berbagai macam krisis ini.
Acara utama di pesta kampung malam ini adalah pertunjukan wayang ‘ruwat’. Sebab rangkaian dari keseluruhan acara yang telah berlangsung ini sejatinya adalah ruwatan, upacara adat tolak bala sekaligus syukuran atas keberkahan laut yang telah dinikmati masyarakat nelayan tradisional.
Memang, sebagian besar penghuni kampung nelayan di muara Sungai Dadap ini adalah pendatang dari Indramayu, Jawa Barat. Mereka pindah ke kawasan ini sejak tahun 70-an setelah penggusuran pemukiman di Muara Karang. Bahkan pemberian nama Kampung Dadap Baru ini juga sama dengan kampung nelayan yang ada di Indramayu, tempat mereka berasal. Maka, tidak heran jika mereka tetap melestarikan adat tradisi ruwat laut ala masyarakat pesisir Jawa meski hidup di kepungan Ibu Kota.
Sejak kami datang, gamelan sebenarnya telah bertalu-talu dan dalang yang juga selaku tetua pemimpin upacara ruwatan, sejatinya telah tancep kayon pertanda pagelaran akan segera dimulai. Saat Sang Dalang telah mencabut kayon, lakon-lakon wayang dengan gagrak Cirebon itu mulai digerakkan. Tak semewah pertunjukan di Jawa memang, tetapi dalang maupun penonton begitu khidmat meresapi kesakralan yang menjadi simbol pembersihan dan pembebasan hingga semalam suntuk.

- istimewa - Antara
Sedekah Laut ‘Nadran’ Kampung Dadap
Minggu pagi, 22 Desember 2024, kami bergegas kembali ke pinggir sungai agar tak ketinggalan acara Sedekah Laut ‘Nadran’ Kampung Dadap. Sama seperti tradisi masyarakat nelayan di pesisir-pesisir Nusantara khususnya Jawa, sedekah laut ini dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur dan memohon keselamatan serta hasil laut yang melimpah. Larung sesaji ke tengah laut menjadi prosesi yang paling ditunggu-tunggu dalam rangkaian acara Nadran ini.
Namun, kami baru benar-benar melihat dengan gamblang saat hari terang bagaimana wajah kampung Dadap senyatanya. Krisis ruang dan lingkungan yang terjadi di sini rupanya lebih mengerikan dari yang kami bayangkan.
Setelah menyusuri gang-gang sempit dengan tanah gembur yang becek hitam, kami kembali berjalan di atas tanggul beton dan melihat kontras yang begitu mencengangkan. Saat melihat ke belakang (arah barat daya), ada megah proyek tol raksasa yang akan segera tersambung. Proyek itu juga yang membuat sebagian warga telah tergusur.
Saat memandang ke seberang barat laut dan utara, pelabuhan dan gedung-gedung mewah kawasan PIK 2 telah terbangun. Tak hanya kontras, proyek berlabel PSN itu juga yang kini sedang mengancam keberadaan warga Kampung Dadap. Ya, mereka terancam tergusur lagi dan lagi oleh pemilik modal.
Masih melangkah di atas tanggul beton, tepat di samping sebelah kanan kami berjalan, rumah-rumah bedeng beratap asbes yang sesak bertumpuk itu ternyata berdiri di atas lautan sampah dan air. Astaga, mereka hidup terkepung! Terkepung oleh lingkungan yang sangat rusak dan terkepung keangkuhan kota impian orang-orang berduit.
Tapi ketika melihat ratusan perahu nelayan yang membentang sepanjang muara sungai Dadap telah hingar bingar dengan sesaji dan ubo rampe, ada harapan dan alasan agar mereka harus melawan dan dibela. Ada peradaban dan tradisi yang hidup. Sedekah laut ini tak hanya simbol tolak bala dan rasa syukur, lebih dari itu, acara adalah bukti eksistensi peradaban.
Meski dihantui berbagai krisis, warga Dadap tak krisis solidaritas, khas karakter masyarakat pesisir tradisional. Bukti nyatanya adalah jalannya acara ini setiap tahun.
“Ini untuk kekompakan nelayan. Kalau ada dananya diadain satu tahun sekali, kalau dananya kurang kadang dua tahun sekali. Dananya ini kekompakan nelayan, patungan. Jadi satu perahu atau satu nelayan kena gopek, kalau yang bangsa bos-bos satu juta, kalau perahu kecil tiga ratus, kalau penduduk per rumah cepek, supaya guyub kekompakan nelayan,” kata seorang nelayan kepada kami.
Dari ujung ke ujung, jumlah nelayan di Kampung Dadap diperkirakan ada lebih dari seribu orang. Sebagai nelayan tradisional, mereka umumnya mencari nafkah secara kondisional dengan perahunya. Jika musim rajungan tiba, maka para nelayan akan menurunkan pejer (jaring rajungan), jika musim udang maka ada bubu liong (bubu naga) yang bisa diturunkan untuk melaut.
Tetapi hasil laut yang pasti paling besar di Kampung Dadap adalah budidaya kerang hijau. Nelayan cenderung adaptif dengan alam, menggerakkan ekonomi lewat potensi laut Jakarta tanpa merusak, hanya perlu diarahkan untuk kesadaran soal sampah. Lantas, atas dasar apa mereka harus terancam untuk digusur dari rumah yang ditempati selama puluhan tahun?
“Kadang-kadang lagi enak-enaknya, dihajar hujan angin. Apalagi ini musim barat, ombak besar, limbah datang dari darat dibawa oleh air hujan. Kadang bisa semua kerang budidaya mati,” ujar seorang nelayan menceritakan kerentanan nasib mereka yang dikepung krisis dari berbagai lini.
Saat Nadran dimulai, gemeretak mesin diesel 24pk menyala serentak. Kami semua bergerak mengarak miniatur kapal nelayan yang berisi berbagai macam sesaji utama untuk dilarung ke tengah laut, sebagai simbol agar Teluk Jakarta tetap memberikan keberkahannya.
Setiap nelayan mengajak seluruh anggota keluarganya naik di perahu masing-masing. Perahu yang biasanya hanya bau amis ikan, kini semuanya berubah meriah berhiaskan jajanan pasar, janur, tebu, hingga kelapa cengkir serta paket sesaji masing-masing.
Baru sampai bibir pantai, langit mendung tiba-tiba. Rintik hujan turun perlahan dan mulai deras. Sebagian perahu berteduh di bawah jembatan penghubung antara PIK 2 dan Pulau C, termasuk perahu yang kami tumpangi turut tertambat di salah satu tiang raksasa jembatan.
Kami mencoba naik ke salah satu kaki raksasa jembatan tersebut, pemandangannya jadi lebih gamblang terasa kontrasnya. Antara gedung-gedung pencakar langit Kota Jakarta yang jauh di selatan sana, kemewahan PIK 1, dan megaproyek spektakuler PIK 2 yang terus berjalan serta tampaknya akan menerabas kampung itu.
Sedekah laut ini berlangsung seru sekaligus haru. ketika rombongan perahu kembali memecah ombak menuju ke tengah laut, sejumlah anak muda Kampung Dadap dengan sangat lantang dan heroik mengibarkan bendera hitam bertuliskan “DADAP BUKAN LAHAN KOSONG”. Sebuah simbol perlawanan yang terus dikibarkan sepanjang arak-arakan di tengah Teluk Jakarta.
Suka cita itu kami lanjutkan bersama ratusan atau mungkin ribuan warga Dadap menuju Pulau Bidadari dan Pulau Cipir, Kepulauan Seribu. Namun saat pulang, seorang Ibu warga Dadap sekaligus tokoh Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia, berkata pada kami “Pertanyaan kami cuma satu, kami mau pindah ke mana lagi? Pekerjaan kami ini ya di sini, pertanyaanya itu, mohon dijawab entah siapa,” ucapnya dengan suara bergetar dan matanya berkaca-kaca, hanya bisa membuat kami mematung bungkam. (rilo)
- DEWAN REDAKSI:
- Lalu Mara Satriawangsa
- PIMPINAN REDAKSI:
- Ecep Suwardaniyasa Muslimin
- REDAKTUR PELAKSANA:
- Chandra Hendrik Hasudungan Manurung,
- Irianto Susilo,
- Fauzie Pradita Abbas,
- Bajo Winarno,
- Muhammad Ivan Rida,
- Fikri Syaukani,
- Budi Zulkifli,
- Hentty Kartika,
- Muhammad Takbir,
- Fajar Sodik,
- FJosua Jon Crissandro
- KOORDINATOR LIPUTAN:
- Sukardani
- SEKRETARIAT REDAKSI:
- Satria Aji Prasojo,
- Caren Gloria Jessica
- REDAKTUR:
- Evan Bayu Setianto,
- Rohaimi,
- Putri Rani,
- Luthfi Khairul Fikri,
- Subhan Wirawan,
- Novianti Siswandini,
- Mumu Mujahidin,
- Aqmarul Akhyar,
- anggeng Kusdiantoro,
- Rizki Amana,
- Inas Widyanuratikah,
- Reni Ravita Pajri,
- Hartifiany Praisra,
- Ferdyan Adhy Nugraha,
- Muhammad Indmas,
- Akmal Ghani,
- Karina Maghvira R,
- Ammar Ramzi,
- Farhan Alam,
- Ahmad Imanuddin,
- Gigih Wahyuningsih,
- Adeline Kinanti,
- Farhan Erlangga,
- Rahayu Trisna Sari,
- Anisa Sri Isnaini,
- Hilal Aulia Pasha,
- Reinaldy Darius,
- Dean Pahrevi,
- Hansen Sinaga,
- Rilo Pambudi,
- Hanny Nur Fadhilah,
- Kevi Laras Wana,
- Tesya Juwita Larasati,
- Angelia Nafriana
- REPORTER:
- Syifa Aulia,
- Caren Gloria Jessica,
- Abdul Gani Siregar,
- Rika Pangesti,
- Aldi Herlanda,
- Ilham Giovani Pratama
- FOTOGRAFER:
- Julio Trisaputra,
- Muhammad Bagas Syafii
- DESAIN GRAFIS:
- Wildan Mustofa,
- Muhammad Rheza,
- Raihan Omar Budihawali,
- Zidane Rizqi Abdurrahman Rodja
- DATA ANALISIS:
- Muhammad Haikal,
- Muhammad Arif Wibisono,
- Wahid Nurul Hidayat